Oleh: Denny JA
JakartaDiplomats.com  - Magelang
 - “Orang yang hanya tahu sisi pandangannya sendiri soal satu isu, ia 
sesungguhnya tidak tahu banyak soal isu itu. Ia boleh saja merasa 
argumennya soal isu itu sangat kuat. Tapi jika ia belum mendengar 
pandangan lain yang berlawan soal isu itu, kuat atau tidak argumennya 
belumlah teruji.” (John Stuart Mill)
“Kritik
 mungkin tidak menyenangkan, tapi itu rasa tak menyenangkan yang 
penting. Kritik itu berfungsi seperti rasa sakit dalam tubuh kita. 
Kritik memberi tahu kita bahwa ada yang tidak beres dalam kebijakan 
publik.” (Winston Churchill)
Kutipan
 dua tokoh inilah yang teringat ketika mengetahui wafatnya Faisal Basri.
 Sepanjang perannya di ruang publik, Faisal Basri bersuara sangat 
kritis, sangat berani, lantang, bicara apa adanya.
Faisal
 bisa begitu terbuka mengkritik, bukan saja karena ia punya passion, dan
 memiliki integritas. Tapi berani karena ia juga berbasis data dan 
riset. Sangat sedikit di tanah air mereka yang mengkritik dengan keras 
namun menggunakan riset dan data.
Hal
 yang biasa jika pihak yang dikritiknya merasa tak nyaman. Namun, ruang 
publik hanya sehat jika juga diisi oleh nyanyian suara kritis seperti 
yang diperankan Faisal Basri.
Mengenang
 Faisal Basri, saya teringat peran kritis yang juga dilakukan ekonom 
kepada pemerintah negaranya sendiri, yaitu Thomas Piketty (Prancis) dan 
Amartya Sen (India).
Sepanjang
 nyanyian kritisnya, ada tiga isu utama yang sering menjadi fokus Faisal
 Basri: korupsi dan kroni-isme, ketimpangan ekonomi, serta kebijakan 
publik yang tidak berpihak pada kepentingan nasional.
Faisal
 Basri sangat vokal menentang korupsi dan kroni-isme. Ia menganggap ini 
sebagai penyakit utama yang merusak perekonomian dan pemerintahan 
Indonesia.
Menurutnya, 
korupsi dan kroniisme bukan sekadar masalah etika, tetapi juga akar dari
 banyak masalah ekonomi yang dihadapi bangsa ini. Faisal sering 
menyoroti bagaimana korupsi menyebabkan ketidakadilan, memperburuk 
kesenjangan sosial, dan merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Dalam
 pandangannya, pemberantasan korupsi menjadi kunci menciptakan 
pemerintahan yang bersih dan efisien. Ini, pada gilirannya, akan 
mempercepat pembangunan ekonomi yang inklusif.
Bagi
 Faisal, tanpa langkah tegas melawan korupsi, semua upaya untuk 
membangun ekonomi yang adil dan berkelanjutan akan sia-sia. Sikapnya 
yang tegas dan terbuka atas apa yang ia anggap pelemahan KPK, luas 
diketahui.
Selain 
korupsi, ketimpangan ekonomi juga menjadi isu yang sering dikritisi oleh
 Faisal Basri. Ia melihat ketimpangan yang semakin parah di Indonesia 
sebagai ancaman serius terhadap stabilitas sosial dan kohesi masyarakat.
Dalam
 banyak kesempatan, Faisal menyoroti kebijakan pemerintah yang sering 
kali lebih menguntungkan kelompok kaya dan elite bisnis, sementara 
rakyat kecil semakin terpinggirkan.
Ketimpangan ini, menurut Faisal, bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga masalah moral dan sosial.
Faisal
 percaya ketimpangan yang terus meningkat tidak hanya menghambat 
pertumbuhan ekonomi, tetapi juga bisa memicu ketegangan sosial yang 
berpotensi merusak kesatuan sebuah bangsa.
Kritik atas semakin kokohnya oligarki ekonomi dan politik belakangan ini sering ia nyatakan.
Faisal
 juga sangat kritis terhadap kebijakan ekonomi yang menurutnya lebih 
mengutamakan kepentingan asing atau korporasi besar dibandingkan 
kepentingan nasional.
Ia 
menekankan pentingnya menjaga kemandirian ekonomi nasional. Ia juga 
memastikan agar sumber daya alam serta aset-aset strategis digunakan 
untuk kesejahteraan rakyat, bukan hanya untuk keuntungan segelintir 
orang atau perusahaan besar.
Bagi
 Faisal, kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan nasional sama 
saja dengan menjual masa depan bangsa demi keuntungan sesaat. Faisal 
sangat kritis dengan isu hilirisasi nikel yang menurutnya lebih 
menguntungkan Cina.
Sama 
halnya dengan Faisal Basri, Thomas Piketty, ekonom asal Prancis, juga 
terkenal karena kritiknya yang tajam terhadap ketimpangan ekonomi di 
negaranya. Dalam bukunya “Capital in the Twenty-First Century", Piketty 
mengkritik kebijakan perpajakan Prancis yang cenderung menguntungkan 
orang kaya.
Pada tahun 
2019, Piketty secara terbuka mengkritik reformasi pajak Presiden 
Emmanuel Macron. Kebijakan itu menurutnya memperburuk ketimpangan karena
 penghapusan pajak kekayaan.
Piketty
 berpendapat bahwa reformasi tersebut memberi keuntungan besar bagi 
elite kaya, sementara kelas menengah dan bawah harus menanggung beban 
ekonomi yang lebih berat. Ia mengusulkan pajak progresif yang lebih 
tinggi bagi orang kaya dan pajak kekayaan global sebagai solusi untuk 
menekan ketimpangan ekonomi di Prancis dan Eropa.
Di
 India, Amartya Sen, ekonom pemenang Nobel, juga kritis terhadap 
kebijakan pemerintahnya, terutama dalam bidang kesehatan dan pendidikan.
 Sen mengkritik keras pemerintah India, terutama di bawah kepemimpinan 
Narendra Modi, atas penanganan yang buruk terhadap pandemi Covid-19. 
Menurut Sen, pemerintah India gagal memperkuat infrastruktur kesehatan, 
yang menyebabkan jutaan orang tidak mendapatkan akses perawatan yang 
memadai.
Sebelum itu, Sen
 juga mengkritik kebijakan demonetisasi pada tahun 2016, di mana 
pemerintah India menarik mata uang besar dari peredaran. Sen menyebut 
kebijakan tersebut sebagai "kebijakan yang menghancurkan."
Kebijakan
 itu lebih banyak menyakiti rakyat miskin dan sektor informal yang 
sangat bergantung pada uang tunai. Kritiknya berfokus pada bagaimana 
kebijakan tersebut diambil tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap 
kesejahteraan sosial dan ekonomi rakyat kecil.
Nyanyian
 kritis berbasis riset dan data seperti yang dipraktikkan oleh Faisal 
Basri, Thomas Piketty, dan Amartya Sen menjadi pandangan alternatif atas
 kebijakan agar lebih tepat dan adil. Di tengah derasnya arus 
kepentingan politik dan ekonomi, kritik berbasis data ini menjadi 
penjaga keadilan. Ini mengingatkan kebijakan harus selalu diukur dari 
dampaknya terhadap semua lapisan masyarakat, bukan hanya segelintir 
elite.
Nyanyian kritis 
berbasis riset adalah elemen vital menjaga demokrasi tetap hidup. Tanpa 
kritik yang terukur dan terinformasi, pemerintah akan berjalan tanpa 
kendali, berpotensi mengabaikan suara rakyat kecil yang kerap 
terpinggirkan. Melalui data, para kritikus seperti Faisal, Piketty, dan 
Sen memberi suara kepada mereka yang tak terdengar, memastikan bahwa 
kekuasaan selalu diawasi dan dipertanggungjawabkan.
Tentu
 saja sikap kritikus soal apapun bukanlah satu- satunya kebenaran. 
Realitas itu seperti hologram. Banyak dimensinya. Posisi yang berbeda 
dapat melihat realitas yang berbeda. Namun ruang publik menjadi sehat 
jika membiarkan kritisisme itu tumbuh.
Beruntunglah
 sebuah negara yang memiliki banyak kritikus kuat. Apalagi jika kritik 
yang dilontarkan berbasiskan data dan riset. Masyarakat lebih 
diuntungkan lagi jika kebijakan publik yang diambil sudah pula 
dilezatkan dan diperkaya oleh kritik yang kuat itu.
Selamat
 jalan Faisal Basri. Terima kasih atas passion, keberanian, kejujuran, 
riset, dan data, yang ikut menumbuhkan tradisi kritik di Indonesia. (*)
Magelang, 6 September 2024
CATATAN:
(1)
 Negara lebih sehat jika membiarkan tumbuhnya tradisi kritik di ruang 
publik. Buku yang membahas isu ini dengan kuat: Karl Popper: The Open 
Society and Its Enemies: New One-Volume Edition on JSTOR


0 Komentar